Saya bergabung
dengan tim editor Media Guru awalnya karena rasa ikut memiliki yang besar
terhadap Media Guru. Saya ingin buku yang diterbitkan Media Guru menjadi
buku-buku best seller yang enak dibaca dan disukai pembacanya . Ketika Sang Boss
Editor mengatakan timnya hanya sedikit dan butuh bantuan banyak editor, maka saya
menyatakan siap bergabung. Membayangkan peserta Media Guru Writing Camp yang
membludak dimana-mana, bisa saya bayangkan akan ada ratusan naskah masuk yang
harus diedit.
Ketika akhirnya
email dari Boss Editor masuk, saya langsung tersenyum kecut. Naskah yang
dikirim per bab sehingga banyak attachment
dalam satu email, foto-foto yang dikirim satu-satu dan banyak lagi yang membuat
saya mulai menyadari bahwa saya harus bekerja keras. Saya sudah terbiasa
menjadi editor pada banyak naskah dan buku. Memang saya akui, naskah yang saya
edit biasanya adalah naskah-naskah yang terpilih bahkan kadang naskah pemenang
lomba. Semua naskah sudah rapi dan urut. Saya tidak perlu pusing-pusing, cukup memoles
sedikit, sim salabim naskah siap
diterbitkan. Tentu bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya ketika bertemu
naskah seperti ini.
Pertama
membuka email kiriman Boss Editor ini, saya menitikkan air mata. Saya Terharu. Demi
Allah saya tidak sedang lebay. Saya benar-benar terharu. Naskah yang masuk itu
amat sangat kacau. Sekali lagi amat sangat kacau. Bukan saja dari segi ejaannya,
tapi kalimat yang dituliskan pun sama sekali tidak bisa dipahami. Lalu apa yang
membuat saya terharu? Apa yang membuat saya menangis haru? Apa karena saya harus lembur bermalam-malam hanya untuk mengedit
satu naskah itu? Apa karena saya harus minum bodrek beremplek-emplek -pinjam istilah si Boss- agar naskah itu menjadi
enak dibaca?
Bukan itu yang
ada dalam pikiran saya. Yang saya pikirkan adalah, yang ada dalam pikiran saya
adalah, apa yang sudah dijejalkan oleh CEO Media Guru pada para peserta Writing
Camp ini sehingga mereka tergerak hatinya untuk menulis? Apa yang sudah
disampaikan kepada mereka sehingga mereka mau berusaha untuk menghasilkan buku?
Saya benar-benar tidak habis pikir. Saya memang ikut acara Writing Camp di Malang
tetapi tidak sampai selesai. Bagaimana membuat ratusan guru itu tiba-tiba
bersedia menulis, tiba-tiba tergerak hatinya untuk menulis? Bagaimana bisa?
Itulah yang ada dalam pikiran saya. MasyaAllah.
Saya acungkan
keempat jempol saya kepada Mr. CEO Media Guru yang berhasil memotivasi dan
menyemangati teman-teman guru untuk menulis, untuk menghasilkan satu buku. Padahal
mereka belum pernah menulis sama sekali, padahal mereka belum tentu mempunyai
kemampuan untuk menuangkan ide dan gagasan mereka. Saya aktif di beberapa
komunitas menulis, sering membuat pelatihan menulis tetapi tidak pernah berhasil
memotivasi sedahsyat itu. Mungkin hanya satu dua saja yang tergerak untuk
menulis. Sepertinya saya harus berguru banyak kepada Mr.CEO kita. Allahu Akbar.
Kebetulan lagi
saya ini orangnya perfeksionis, saya
tidak mau bila di buku itu, tertulis saya sebagai editornya tetapi bukunya
acak adul. Terlebih lagi saya membawa nama besar Media Guru. Akhirnya saya memang tidak bisa mengedit asal-asalan. Saya gemes tiap kali bertemu kalimat yang
tidak bisa dipahami, pasti saya ganti dengan kalimat yang mudah dimengerti.
Agar bisa dipahami dengan baik oleh pembaca. Kalau yang ditulis itu sesuai
dengan bidang saya, mungkin dengan mudah saya bisa memperbaikinya. Tetapi kalau
tidak, mungkin minum beremplek-emplek
bodrek tidak juga bisa membantunya. Kalau Bos Editor diibaratkan sudah naik
pesawat jet dalam mengedit naskah teman-teman, maka saya masihlah
tertatih-tatih mengeditnya. Saya tetap tidak rela bila naskah itu terbit dengan
tidak sempurna. Bisa dibayangkan bila
saya mengedit lima buku saja, maka saya berasa menulis ulang lima buku itu,
karena saya selalu saja tidak puas dengan hasil editan saya. Tetapi tidak
berarti semua naskah yang masuk seperti itu. Tidak. Banyaaaaaaak juga naskah
yang masuk dan sudah sempurna. Mungkin Boss Editor yang saking cintaaaanya
kepada saya sehingga naskah yang dikirim kepada saya koq ya yang membuat saya
harus minum bodrek semua hehehe...
Mr.CEO dan
Boss Editor yang terhormat, saya minta maaf sudah membuat panjenengan
menunggu-nunggu hasil pekerjaan saya. Saya benar-benar digembleng menjadi
editor beneran ketika bergabung dengan tim Media Guru ini. Saya tidak kapok
karena banyak hal yang saya dapatkan dari semua pengalaman ini. Saya ingin
besar bersama Media Guru dan melihat Media Guru menjadi penerbit ternama dan
diperhitungkan di dunia perbukuan kita. Saya ingin media Guru menjadi penerbit kebanggaan para guru, saya ingin
Media Guru menjadi wadah bagi mereka yang ingin menyalurkan passion menulisnya. Terima kasih atas kepercayaannya. Last but not
least, bolehkah saya minta kiriman bodreknya, untuk bekal mengedit nanti malam??
Keren ini judulnya, hehe
BalasHapusbwahahhaa makasih Kang...
Hapus