Yang fana adalah waktu,
Kita abadi,
Memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari.
kita lupa, untuk apa..
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu
KIta abadi
(Sapardi Djoko Damono)
Karyaku akan abadi walaupun aku telah tiada |
Helvy
Tiana Rosa mengatakan bahwa nama kita tidak akan mati bahkan bila kita
mati. Apa maksud kalimat itu? Bagaimana mungkin kita abadi, sedangkan
kita adalah makhluk yang fana? Kita tentu tahu JRR Tolkien? Yup, beliau
adalah pencipta novel Lord of The Rings. Novelnya kemudian difilmkan
oleh Peter Jackson. Sudah sejak tahun 1971 beliau meninggal, tetapi
begitu novelnya muncul sebagai film, orang pasti akan mengingatnya
kembali dan mengenangnya kembali. Ada lagi Theodor Geisel atau Dr.
Seuss, penulis dan kartunis dari Amerika yang meninggal pada tahun 1991
juga Charles M schulz kartunis terkenal pencipta snoopy yang meninggal
tahun 2000an. Mereka semua sudah meninggal tetapi karyanya tentu masih
dibaca orang sampai sekarang.
Demikian
juga para pujangga Indonesia seperti Marah Rusli dengan Siti
Nurbayanya, Tulis Sutan Sati dengan Sengsara Membawa Nikmat, Sutan
Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang, Abdul Muis dengan Salah
Asuhan, HAMKA dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan masih banyak lagi.
Mereka semua sudah tiada tetapi karya-karyanya masih tetap dibaca dan
dinikmati banyak orang. Jasad mereka boleh jadi sudah berkalang tanah,
tetapi karya mereka, nama mereka tetap abadi, dikenang orang.
Jadi
itulah maksud tulisan Helvy Tiana Rosa diatas, bahwa bila kelak kita
sudah tiada, maka tulisan kita tetap hidup, tetap ada untuk dibaca.
Seolah-olah hal itu menjadikan kita abadi, tetap ada tidak pernah mati.
Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat saya, meninggal dunia, saya
sering bolak balik melihat facebooknya
juga blognya. Saya baca-baca statusnya, saya membaca lagi tulisannya di
blog, saya tahu sahabatku ini sudah meninggal, tetapi karyanya,
tulisannya masih akan selalu dibaca dan diingat orang. Sejak itulah saya
selalu memaksa diri untuk menulis. Bagaimana mungkin cita-cita saya
menjadi penulis terkenal bisa terwujudkan, bila saya tak
juga mulai menulis? Maka benarlah kata Imam Al Ghozali, jika kamu bukan
anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Dengan
menjadi penulis, maka kita bisa dikenal dan dikenang orang. Kita akan
abadi.
Memang
sulit memaksa diri untuk menulis setiap hari. Sebaiknya kita mempunyai
jadwal tertentu untuk menulis, dan kita harus belajar mematuhinya.
Menurut JK Rowling mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kita ketahui,
atau tentang pengalaman dan perasaan kita sendiri. Jadilah itu yang
saya lakukan, hanya menulis hal-hal yang saya tahu dan saya rasakan.
Tidak perlu hal-hal yang sulit. Tentu mudah bagi guru bahasa Inggris
seperti saya menulis tentang bagaimana mengajar bahasa Inggris. Saya
tinggal mengingat-ingat apa saja yang saya lakukan ketika mengajar
kemudian saya tuliskan. Mungkin saya bisa juga browsing tentang bagaimana orang lain mengajar bahasa Inggris. Kemudian menambahkannya ke dalam tulisan saya, sehingga tulisan saya akan lebih berwarna. Beda
ceritanya kalau saya disuruh menulis tentang bagaimana cara terbang ke
Planet Venus. Tentu akan sulit bagi saya, karena selain memang belum
pernah pergi sendiri ke Planet Venus, mencari referensi atau sumber
beritanya pun akan sangat sulit. Jadi memang lebih mudah menuliskan
hal-hal yang kita ketahui dan kita kuasai saja.
Tere Liye dalam suatu seminar menulis mengatakan, Alah
bisa karena biasa. Demikian juga dengan menulis, kalau kita terbiasa
menulis, akan mudah bagi kita untuk menuangkan ide dan gagasan kita ke
dalam tulisan. Pernahkah kita melihat seorang ibu memasak membawa
penggaris untuk mengukur tempe atau sayuran agar irisan panjangnya sama?
Tentu tidak pernah bukan? Tetapi bagaimana tempe dan sayuran yang
dipotong bisa kelihatan sama panjangnya, padahal tidak menggunakan
penggaris atau alat ukur lainnya? Itulah dahsyatnya suatu kebiasaan.
Karena kita terbiasa memotong sayuran, maka lama-lama potongan kita akan
sempurna dan tampak sama panjangnya. Karena kita terbiasa memasak, maka
lama-lama masakan kita akan menjadi lezat. Begitu pula jika kita
menulis, semakin sering menulis, semakin rajin menuangkan gagasan kita,
maka lama-lama tulisan kita akan mengalir dan menjadi enak dibaca.
Apabila banyak orang yang menyukai tulisan kita, tentu pada akhirnya
tulisan kita akan menjadi best seller dan kita bisa menjadi penulis yang
mumpuni dan terkenal.
Sesuai
dengan permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dan sebagai lanjutan dari
Gerakan Literasi Nasional, maka sesungguhnya guru tidaklah bisa
dipisahkan dari menulis. Karena kehidupan seorang guru memang tidak akan
pernah lepas dari kata menulis. Guru harus menyiapkan bahan ajarnya,
menyiapkan skenario rencana pengajarannya, membuat penelitian tindakan
kelas, menulis untuk pengembangan profesinya, untuk menambah angka
kreditnya, dan masih banyak lagi. Sebagai seorang guru, tentu diharapkan
tulisan kita adalah tulisan yang bermanfaat. Yang bisa membawa perubahan, membawa kebaikan bagi sesama. Diharapkan tulisan kita bisa berguna bagi
orang lain, memberitahu tanpa bermaksud menggurui, menyampaikan
kebenaran tanpa disadari bagi yang membacanya. Bukankah itu membuat kita
bercahaya di ahirat kelak? Karena itu akan menjadi ladang amal jariyah
kita?
Pramodeya
Ananta Toer mengatakan juga bahwa orang boleh pandai setinggi langit,
tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah. Maka ayolah menulis mulai sekarang, tunggu apalagi?
Biarpun kita sudah tiada, maka karya kita akan tetap abadi. Yuk, menjadi
guru yang abadi!
setuju, mbak. guru sebaiknya juga menulis karena selain menjadi abadi mereka juga bisa lebih banyak menebar ilmu yang mereka miliki
BalasHapussuka dengan quote dari Pramoedya, rang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
BalasHapusajarin aku nulis yang baik dong kaka ^_^