CERPEN
Aku
bergegas menyelesaikan doaku, mengucapkan amin sambil mengusap mukaku.
Kutarik sarungku ke atas dan menyilangkannya di dada agar tidak
mengganggu lariku. Seperti biasa aku harus cepat-cepat pulang, karena
ibu akan segera berangkat kerja. Aku tidak mau pagiku terlewati tanpa
mencium tangannya. Pak Nur tersenyum melihatku, memakai sandal sambil
berlari. Pasti beliau sudah hafal kebiasaanku. “Hati-hati, Aris!”
Ucapnya sambil tersenyum. Aku balas dengan anggukan kepala dan segera
melesat pulang.
Sesampai
di rumah, Ibu sudah rapi, sudah berjilbab dan sedang memakai jaketnya.
Itu berarti Ibu sudah siap berangkat. Senyumnya lepas menyambutku yang
berlari dengan terengah-engah.
“Nggak
usah berlari, Ibu pasti menunggumu pulang dari Masjid!” Ibu memelukku
dan mencium rambutku. Ritual pagi yang selalu kusuka.
“Segera
bangunkan adikmu yaa, suruh cepat mandi dan ajak makan, baju seragamnya
sudah Ibu siapkan. Sholatmu jangan sampai telat, maafkan Ibu ya Mas,
selalu merepotkanmu” Ibu mengatakannya sambil tetap memelukku. Pesan
yang sudah kuhafal karena tiap pagi diucapkannya.
“Siap
Ibu Komandan!” Aku melepaskan pelukan Ibu, tanganku bergaya hormat
seperti pak tentara. Terima kasih atas masakannya yang lezat, jangan
khawatir nanti Ibu pulang pasti sudah kuhabiskan semua.”
Ibu
tertawa lebar, mengambil helm dan siap berangkat. Aku cium tangannya
dan melambaikan tangan sampai sepeda motor ibu menghilang di tikungan
depan.
“Hati-hati buuuuu, cepat pulaaang!” teriakanku akan dijawab ibu
dengan anggukan kepala dan lambaian tangannya.
Sejak
Ayah meninggal tiga tahun yang lalu, Ibu menjadi tulang punggung
keluarga kami. Ibu harus mencari nafkah untuk aku dan adikku semata
wayang, Diana, dengan bekerja di pabrik. Kata
Ibu jarak pabriknya lumayan jauh dari rumah. Itulah mengapa ibu selalu
berangkat pagi-pagi, dan pulang menjelang petang. Aku sendiri belum
pernah diajak Ibu ke pabriknya. Kata ibu tidak penting ibu bekerja
dimana yang penting halal. Aku setuju saja.
Tetapi
sepagi apapun Ibu berangkat, Ibu masih sempat memasak untukku dan
membereskan rumah. Tugasku hanya menjaga adikku saja. Kebetulan aku dan
adikku bersekolah di sekolah yang sama. Diana kelas satu dan aku kelas
enam. Diana pulang lebih awal dan dia akan menunggu di rumah mbak Emy,
yang tinggal disamping sekolahan sampai waktuku pulang tiba.
Bila
sore menjelang, biasanya aku dan Diana mengaji di Masjid dekat rumahku
sampai saatnya sholat maghrib tiba. Tetapi tidak untuk hari ini. Dari
kemarin teman-teman ramai membicarakan tentang suara klakson bis yang
kencang dan bagus yang sedang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Aku
sangat penasaran. Aku sempat mendengarkan di handphone temanku kemarin,
tetapi sayang tidak begitu jelas. Maka hari ini aku berencana dengan Eko
dan Roni untuk pergi ke desa sebelah yang jalan rayanya dilewati
bus-bus besar, karena memang dekat dengan terminal bus antar kota. Agar
kami bisa mendengarkan suara klaksonnya secara langsung.
Sebelum berangkat, aku ijin kepada pak Nur untuk tidak ikut mengaji. Untung pak Nur yang sabar hanya mengangguk dan tidak banyak bertanya.
Desa
sebelah tidaklah jauh dari rumahku, hanya sekitar empat kilo saja.
Hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai kesana dengan bersepeda.
Kukayuh sepedaku mengikuti
Eko dan Roni yang sudah duluan di depan. Mungkin karena harus
membonceng Diana yang lumayan gendut, maka aku tidak bisa mengayuh
dengan cepat.
Sesampai di pinggir jalan, ternyata sudah banyak anak-anak yang berkumpul. Mungkin ada sepuluh sampai lima belas anak. Aku
mengeluarkan tulisan yang sudah kusiapkan sejak di sekolah tadi,
kulihat beberapa anak juga membawa tulisan bermacam-macam. Tulisanku
sendiri berbunyi “Mau teloletnyaa doong... Om!!” Dan Tulisan itu akan
kami tunjukkan kepada sopir bus yang busnya lewat di depan kami. Bila
sopirnya berbaik hati, maka dia akan membunyikan klaksonnya dengan
kencang ... teloleeetttt teloleeett...Dan berjingkrak-jingkraklah
anak-anak itu bila sudah berhasil mendengarkan bunyi klaksonnya.
Sederhana bukan?
Sangat
sederhana memang, tetapi itu ternyata sudah cukup membuat kami bahagia.
Diana tampak terpingkal-pingkal menari-nari bila mendengar suara
klakson itu membahana. Dan tidak ada bahagia lain bagiku selain bisa
melihat Diana tertawa. Sudah setengah jam kami berdiri di pinggir jalan
dan sudah empat kali kami mendengar suara klakson itu. Memang tidak
semua bis mempunyai suara klakson seperti itu. Yang punya pun belum
tentu sang sopir mau membunyikannya.
Ketika
matahari semakin condong ke barat, aku mengajak Eko untuk pulang. Aku
takut ketahuan ibu. Karena terus terang aku tidak pamit kepada Ibu. Aku
cuma ingin membuat Diana senang saja. Aku takut Ibu marah, Ibu paling
tidak suka aku bermain ke desa sebelah, kata Ibu berbahaya bermain di
pinggir jalan raya. Banyak kendaraan besar yang lewat dengan kecepatan
tinggi. Aku biasanya mematuhi perintah Ibu. Tetapi tidak untuk kali ini.
“Aduh, Aris... Maghrib masih lama. Jangan buru-buru pulang. Lihat itu Diana
masih ingin mendengarkan lagi” Tidak Cuma Eko, ternyata Roni juga
menolak kuajak pulang.
“Trus sampai jam berapa?” Aku sedikit cemas, takut mereka benar-benar pulang menjelang maghrib.
“Ya paling nggak sampai kita mendapatkan dua klakson lagi deh” Eko tersenyum sambil mengangkat kertasnya.
“Baiklah”, jawabku dengan berat hati. Aku tidak jadi memisahakan diri.
“Bentar lagi Mas, ada yang lewat Bis Pandu Jaya, klaksonnya kenceeng banget, lebih seru deh!” seorang anak dari desa sebelah mendekatiku sambil menepuk pundakku. Henry namanya.
“Koq kamu tahu?” Aku penasaran bertanya. Aku heran kenapa Henry bisa tahu lebih dulu.
“Yaaa
aku tiap hari kan bermain disini, jadi aku hafal dong” Henry menjawab
dengan bangga. Aku tersenyum, tak bisa kusembunyikan rasa penasaranku.
Ingin rasanya segera melihat bus itu lewat.
“Yang seru lagi, tau nggak?” Tiba-tiba Henry bertanya padaku.
“Apa?”
Jawabku. Apakah sopir itu selalu mau membunyikan klaksonnya?” Aku takut
jangan-jangan nanti si Sopir malas membunyikannya padahal aku penasaran
sekali dengan suara kencangnya.
“Kalau itu pastilah, dia selalu mau!” Henry tersenyum simpul.
“Lalu apa dong yang lebih seru lagi?” Aku semakin penasaran.
“Sopirnya perempuan!” Jawab Henry sambil terbahak.
“Appaaa??? Perempuan??? Masaaakk sihhh??” Aku kaget bercampur heran
Belum
sempat Henry menjawab. Bis yang kutunggu sudah kelihatan dari jauh.
Tulisan Pandu Jaya berwarna merah tampak gagah di depan bis. Anak-anak
berteriak mengacungkan tulisannya sambil melompat-lompat . Kudengar
suara klakson yang sangat kencaang membahanaaa.... TELOLEEEETTTTT
TELOLLEETTTTTT TELOLEETTTTTTTTTT....
Anak-anak
berjingkrak jingkrak kegirangan, ada yang melompat ada yang menari ada
yang sampai jatuh berguling-guling, menikmati suara klakson yang kencang
tiada duanya itu.
Suara
klakson itu benar-benar membuatku terpesona, kulihat Diana melompat
setinggi-tingginya sambil berteriak kegirangan, bahagia rasa hatiku.
Tiba-tiba Henry menghampiriku, menarik bajuku mengajak melompat agar aku
bisa jelas melihat sang sopir. Mataku dengan jelas melihat seorang
ibu-ibu yang duduk di tempat sopir itu tampak sigap memegang setir
sambil tersenyum. Mungkin senyum bahagia bisa membuat anak-anak itu
kegirangan.
Tetapi
jantungku terasa berhenti berdetak melihat sopir perempuan itu, senyum
itu.., jaket itu..., jilbab itu.... Mataku seketika basah. Aku tarik
Diana, memeluknya dan segera mengajaknya pulang. Tak kuhiraukan teriakan
Eko dan Roni yang mengejarku.
mbak bisa dikirim ke koran nih..
BalasHapusjadi ingat.. aku lama g nulis fiksi hehe
Hahaha udah setahun nulisnyaaa..
Hapuswah.. aku selalu kagum sama ibu-ibu yang single parents, menjadi ibu sekaligus ayah untuk anak-anak kayaknya gak mudah ya...
BalasHapusAnak-anak itulah semangatnya hehehe
HapusPart 2 nya ditunggu Bu ������
BalasHapus